Kamis, 06 Oktober 2016

master khaligrafi rendah hati

mualaf
Oleh Shally Pristine

Aneka botol cairan pewarna, kertas manuskrip tua, dan pena bambu kaligrafi beragam ukuran mendominasi pemandangan studio milik Mohamed Zakariya yang terletak di Arlington, AS. Perjalanan Zakariya mempelajari kaligrafi bermula dari selembar karpet di Malibu.

Dari sana, tetirahnya berlanjut ke masjid-masjid di Maroko, sejumlah museum seni, dan sekolah kaligrafi di Inggris serta Turki, sampai akhirnya dia membuka bengkel kerja sendiri di Amerika Serikat.

Di tahun-tahun awal keislamannya, Zakariya mempelajari Islam dan bahasa Arab di Maroko. Pola belajarnya cenderung otodidak dan tidak berguru kepada imam tertentu. Kemudian dia belajar kaligrafi kuno di Museum Inggris Raya, London. 


Ketika berada di London, dia bertahan hidup dengan menjadi pelawak bersama grup Bruce Lacey and the Alberts. Di sana dia bertemu AS Ali Nour, seniman Mesir yang pernah dijumpainya di Maroko. Nour mengajarinya teknik riset kaligrafi Arab.

Ketika kembali ke Los Angeles, Zakariya belum merasa mumpuni untuk menjadi kaligrafer penuh waktu. Dia bekerja sebagai kurator di sebuah galeri seni barang antik. Di waktu luangnya, dia menyempatkan diri membaca literatur kaligrafi dari dinasti Mamluk dan Usmani.

Sedikit demi sedikit, keahlian kaligrafi Zakariya mulai terasah, dia pun mulai bisa menghasilkan uang dari menjual karyanya. Namun, sekitar 1980-an, dia merasa perkembangan kemampuannya mulai buntu.


Setelah berbincang dengan kurator seni Islam di Galeri Freer di Washington, Esin Atil, Zakariya merasa harus mencari pencerahan di Turki. Akhir Desember 1983, dia terbang ke Istanbul untuk memperdalam kaligrafi. 
Di Turki, dia berguru kepada Hasan Celebi, seorang hoca atau ahli kaligrafi ternama di Turki. Celebi memberi syarat bahwa Zakariya harus melepaskan semua yang pernah dipelajari bila ingin beroleh kemajuan. Zakariya pun setuju.

Tercipta hubungan murid dan guru yang hangat antara keduanya. Celebi tidak menerima bayaran dari muridnya dan tidak pula memberikan nilai. Sebagai hoca, Celebi akan memantau hasil pekerjaan Zakariya dan memenuhi hasrat belajarnya. 

"Celebi membawa saya ke masjid, mausoleum, dan situs-situs lain yang memiliki kaligrafi seniman-seniman besar. Dia tahu saya berminat terhadap Islam, karenanya dia berusaha memberikan pelajaran dari sudut pandang itu," kata Zakariya.

Saat ini, Zakariya bisa disebut sebagai ikon kaligrafi Islami di AS. Karyanya pernah terpilih menjadi prangko Idul Fitri resmi dari Kantor Pos AS pada 2001. Baru-baru ini, dia menggelar pameran tunggal di Institute for Works on Paper, San Francisco dan Bellevue Washington Arts Center.

Selain itu, dia berpartisipasi dalam sejumlah pameran bersama di Dubai dan Kuwait. Tiap lukisan kaligrafinya dihargai ribuan dolar AS oleh para kolektor. Sebagian besar di antaranya bahkan bukan Muslim.
Kurator seni Islam di Galeri Smithsonian Institution's Arthur M Sackler, Massumeh Farhad, mengatakan, Zakariya adalah salah satu kaligrafer papan atas dunia. Dia melanjutkan, kaligrafi Islami sekilas terlihat cair dan spontan, namun sebenarnya diatur oleh batas-batas yang spesifik.

Menguasai aturan-aturan itu tidaklah mudah. Banyak yang menghabiskan waktu seumur hidup untuk menguasainya. "Zakariya bisa kita sebut sebagai master di bidang ini," papar Farhad.

Zakariya mengaku tidak peduli dengan kemasyhuran. Dengan rendah hati dia berkata, baginya kaligrafi tak lebih dari caranya mencapai keislaman. Dia bersyukur karena Islam telah membawanya menemukan jati diri yang sesungguhnya.ed; heri ruslan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar